Archive for the ‘ Tulisan Fotografi ’ Category

File PDF Tugas Akhir tentang program “Photography on the move”

File PDF Tugas Akhir tentang program “Photography on the move” yang digagas oleh APC & Pikiran Rakyat

(Bab I) http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/455/jbptunikompp-gdl-satirayuda-22717-3-unikom_s-i.pdf

(Bab IV) http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/455/jbptunikompp-gdl-satirayuda-22717-6-unikom_s-v.pdf

(Bab V) http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/455/jbptunikompp-gdl-satirayuda-22717-7-unikom_s-v.pdf

Kisah Sedih Media Fotografi

http://journalin.multiply.com/journal/item/15/Media_Fotografi_Quo_Vadis

Kisah Sedih Media Fotografi

Oleh Karlina

15 November 2006

Dunia fotografi berduka. Berbagai media fotografi yang muncul menghiasi berpamitan satu per satu. Media fotografi berguguran seperti daun kering yang diserang ganasnya tantangan. Perkembangan dunia fotografi rupanya tidak diikuti dengan cerahnya penjualan media fotografi. Apa yang menjadi penyebabnya?

Perkembangan fotografi menyesuaikan zaman. Sejak zaman dulu manusia berusaha mendokumentasikan peristiwa. Terlihat dengan adanya gambar-gambar pada dinding gua, kulit kayu, kulit binatang, relief, dan lainnya. Kebutuhan untuk mengabadikan peristiwa dapat terwujud dengan kemunculan fotografi. Dunia fotografi di Indonesia boleh bangga. Indonesia hanya membutuh waktu dua tahun untuk mengenal fotografi sejak ditemukan pada 19 Agustus 1939 oleh Louis Jacques Mande Daguerre.

Pergolakan politik Indonesia pata tahun 1998 memunculkan dominasi foto esai dan jurnalistik. Memasuki abad 21, perkembangan teknologi mulai memasyarakat. Kemajuan teknologi menunjang kemajuan peralatan fotografi menuju digital. Olah digital memancing kreativitas fotografer. Masyarakat lebih sadar teknologi. Fotografi memasyarakat dengan kemudahan fasilitas yang ditawarkan kamera digital.

Riadi Rahardja, pemilik sekolah fotografi INOVA, merasa turut berduka karena kematian media fotografi. “Banyak orang yang merasa kehilangan, terutama di daerah yang sulit untuk belajar fotografi,”ujar Riadi. Media fotografi banyak yang bangkrut karena kurang baik dalam menangani bisnis. Market yang ditujukan juga terlalu sempit karena membahas fotografi dasar berarti mengambil market amatir serius yang jumlahnya sangat sedikit.

Jika media fotografi dapat membentuk suatu spesialis mengingat perkembangan media sekarang banyak yang khusus komunitas. Secara prinsip, pemilik media menilai itu peluang bisnis. Misalnya, media kawasan Kelapa Gading di Jakarta. Media berdasarkan kawasan, belum  berdasarkan minat atau hobi. “Sebetulnya media fotografi masih punya peluang,”tegas Riadi. Hanya masalahnya bagaimana menggarap dan menilai siapa yang membutuhkan fotografi.

Urusan iklan harusnya tidak menjadi masalah. Tapi, sering kali medianya sendiri yang membatasi iklan hanya dari pengusaha fotografi saja. Padahal jika seorang mampu membeli kamera digital belasan juta, maka ia mampu membeli barang mahal lainnya. Di sini pemasang iklan mencari celah. Bisa iklan mobil, barang seni, atau lainnya.

Indonesia tidak bisa menghasilkan media yang sangat segmented.Media fotografi Indonesia masih general dan berusaha menjawab semua permasalahan. Literatur fotografi hampir tidak ada. “Jangan-jangan kemampuan menulis hanya sampai fotografi dasar saja,”kata Riadi. Pria lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Hubungan Masyarakat tahun 1983 ini mengeluhkan tidak adanya media fotografi yang mampu memberikan penjelasan detail tentang lighting studio. Peletakan alat studio tidak dijelaskan, hanya diberikan contoh hasil. “Jika ada media fotografi yang bisa membahas hal seperti itu mustinya akan ditelah oleh orang-orang professional,”kata Riadi.

“Minat bacanya masih kurang,”kata Aceng Abdullah, Dosen Fotografi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran jurusan Jurnalistik. Orang lebih senang bertanya daripada harus membaca buku untuk mendapat ilmu fotografi.

Masyarakat Indonesia juga kekurangan daya beli sehingga walau tertarik sekalipun tidak mampu membeli media fotografi yang relatif mahal itu. Media fotografi harus banyak berjuang untuk memasyarakatkan fotografi diIndonesia.

Buletin PAF, Sesepuh Media Fotografi

Klub foto amatir berhasil bertahan selama 80 tahun di Indonesia. Eksistensinya pun tidak diragukan karena telah banyak mencetak fotografer andal dengan karya yang mengagungkan. Perhimpunan Amatir Foto (PAF) lahir pada 15 Februari 1924 dari sebuah pertemuan di Hotel Preanger, Bandung. Preanger Amateur Fotograafen Vereeniging, nama awal PAF, menjadi klub foto tertua di Indonesia yang masih aktif. Penggantian namaPreanger Amateur Fotograafen Vereeniging menjadi Perhimpunan Amatir Foto, secara de facto pada tahun 1954 ketika  Indonesia melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Tapi, secara de jure baru terlaksana tahun 1972.

Prof. C.P. Wolff Schoemaker, seorang arsitek Belanda lulusanTechnische Hogeschool-Bandoeng (sekarang ITB) yang karyanya antara lainGrand Hotel Preanger (Hotel Preanger), Villa Isola (Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia), Het Sterrewacht Bosscha (Observatori Bosscha, Lembang), Het Gebeo Gebouw (Kantor PLN, Bandung), De Groote Kerk(Gereja GPIB-Bethel), dan De Kathedraal (Jalan Merdeka) merupakan pengurus dan pencipta logo PAF pertama.

Anggota PAF menjadi bagian dari sejarah dengan foto-foto peristiwa keganasan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Januari 1950, dengan tokohnya Kapten Westerling. Njoo Swie Goan (alm), anggota PAF, mengabadikan foto Kapten Lembong yang terkapar di jalan sebagai bukti sejarah.

Buletin PAF bermula dari tiga lembar bulletin yang bernama De Lens, yang tanggal terbitnya 10 Maart 1937 (nomor 3) dan Agustus 1937 (nomor 8) berisikan informasi tentang Het Eerste Nederlandsch-Indische Fotosalon(Juli-Agustus 1937) dan rencana Het Tweede Nederlandsch-Indische Fotosalon (25 Juli-2Agustus 1938). Foto yang masuk datang dari Pulau Jawa, Sumatra, Borneo, dan Celebes, bahkan dari luar Hindia Belanda, karena melibatkan peraturan pabean untuk izin masuk karya foto.

Sesepuh fotografi Indonesia, Prof. DR. R.M. Soelarko, menjadi motor penggerak PAF bersama Dr. Ganda Kodyat (alm) dan dibantu Dr. A. Kamarga (alm) selama tahun 1950-an dan paruh awal 1960-an. Generasi penerusnya terdiri atas Leonardi Rustandi (alm), Ir. Iin Hardiono, Ir. Ridwan Gunawan, Dr. J.O. Wuisan, Estian Agustia, dan Drs. Budi Darmawan, menerbitkan Bulletin PAF yang menjadi cikal-bakal Majalah Foto Indonesia, tahun 1969. Majalah Foto Indonesia menyelenggarakan event berjudul Lomba FI 1970, yang mempelopori Salonfoto Indonesia dan Federasi Perkumpulan Senifoto Indonesia pada 30 Desember 1973 di Taman Ismail Marzuki,Jakarta. Majalah Fotografi Indonesia berkembang menjadi MajalahFotomedia di tangan manajemen Kompas-Gramedia Group (1993-2003). Tulisan-tulisan Prof. DR. R.M. Soelarko, Leonardi Rustandi, Dr. A. Kamarga, dan Ir. Iwan Zahar, memperkaya pustaka fotografi lewat media fotografi.

Kepemimpinan PAF kini sudah beralih ke Dedy H. Siswandi.Bulletin PAF merupakan usaha warisan dari kegiatan PAF sebelumnya. Bulletin PAF menjadi sarana komunikasi antar anggota tampak lebih baik dari  mengalami kemajuan bentuk. Produk  yang ditampilkan sudah bermacam-macam. Media fotografi perlu terbuka untuk berbagai macam pemasang iklan, mulai dari Rp 30,000,. Bullein PAF adalah tanda eksistensi PAF di masyarakat fotografiBandung.

Pendanaan tidak lepas sehingga Bulletin PAF sanggup hidup hingga saat itu. Bulletin yang dibagikan secara gratis didanai dari iuran anggota fotografer. Iklan yang muncul merupakan perkembangan dari pendanaan. Iuran anggota PAF hanya Rp 100.000,00 per tahun. Dengan oplah 500 eksemplar, Bulletin PAF menjadi sarana media komunikasi anara anggota aktif dan pasif sehingga nilainya tinggi.

Bulletin PAF juga tidak lepas dari berbagai tantangan. Tahun 1998, saat krisis moneter melanda Indonesia Bulletin PAF terkena imbasnya. Bulletin PAF berhenti beredar. Molojaknya harga kertas menyebabkan Bulletin PAF hanya mampu hadir dalam bentuk newsletter pada tahun 2001-2002. Tapi, setelah memasuki tahun 2004 dibuat bulletin yang lebih baik.

Karakteristik kegiatan PAF merupakan wadah para amatir yang tidak berprofesi, tapi hobi fotografi, ada yang jobless yang akhirnya menjadi fotografer dan membuat media fotografi. Dalam menjaga komunikasi, PAF juga memiliki milis Bandung PAF. Namun, tidak semua bisa mengakses karena tidak aktif menggunakan internet. Pertemuan rutin setiap bulan di sekretariat PAF dan di sana dapat melihat papan komunikasi yang ada.

Jika ingin membandingkan, media fotografi di luar negri lebih spesifik daripada media fotografi di Indonesia. Misalnya, ada yang hanya berisikan perkembangan peralatan. Perkembangan teknologi digital juga dinilai menarik. Teknik konvensional kadang mencapai titik jemu karena bahannya kurang berkembang. “Segmen fotografi dasar itu selalu ada,”kata Dedy H. Siswandi. Fotografi dasar harus tetap menjadi sisipan dalam media fotografi Indonesia.

Indonesia lama untuk mencapai tahap spesifikasi media fotografi. Di luar negri bisa berkembang majalah-majalah yang terspesialisasi seperti fotografi outdoor, alat, binatang, dan lainnya. Bisnis media fotografi di luar negri bisa subur karena memang banyak pembelinya. Bahkan, orang yang tidak tertarik dengan fotografi juga membelinya karena menarik.

Konsep Bulletin PAF juga general sama seperti media fotografi lainnya. Seperti biasa karena untuk menjawab kebutuhan banyak pihak. Pembahasan berita utama biasanya tentang kegiatan yang aktual, info-info kegiatan dan lomba merupakan yang paling digemari. Galeri yang diletakkan di tengah majalah harus ada untuk mencirikan Bulletin PAF sebagai media fotografi.Galeri foto diambil dari pemenang-pemenang loba foto bulanan. Topik lepas dalam Bulletin PAF merupakan artikel kiriman anggota yang berisikan cerita tentang perjalanan ke tempat tertentu untuk hunting foto. Bahan info tentang teknis digital, konvensional, kamar gelap diambil dari majalah luar negri atau kiriman artikel dari anggota PAF.

PAF tidak membahas content foto karena foto-fotonya lebih menganutgaya salon foto¾foto yang mengutamakan kecantikan penampilan dan teknis kamera¾ tidak seperti foto jurnalistik. Bulletin PAF sempat menuliskan tentang fotografi sebagai seni. Namun, jangkauannya jadi terlalu luas. Pembacanya sendiri lebih menggemari pembahasan teknis kamera dalam pemotretan. Dalam penjuarian foto bulanan PAF lebih mengutamakan ide atau kreativitas, komposisi dan mutu cetak. Misalnya, sala satu kaya foto Dedy yang diambil tahun 2000 dengan teknis ditigal. Hal itu dinilai menarik karena temanya waktu itu tidak umum.

Ketika Fotomedia ditutup, banyak anggota PAF yang berduka. Akhirnya, mereka memilih media fotografi. Majalah lebih mudah dinikmati karena bisa dibaca sambil tidur-tiduran. Berbeda halnya dengan internet yang menyita waktu untuk duduk di depan komputer. Tapi, situs fotografi memudahkan orang untuk mengakses ilmu fotografi, seperti website fotografer.net. Fotografer juga lebih berani memamerkan hasil karyanya karena hanya tinggal mengupload foto.

Tulisan sangat diperlukan dalam menjelaskan ide sebuah foto. Kepala fotografer dipenuhi oleh gambar sehingga kemampuan menulis kurang. “Foto bisa bicara, tapi bisa diperkuat dengan tulisan,”kata Dedy. Dengan menulis, konsep foto bisa tersampaikan. “Harus punya kemampuan verbal, baik menulis maupun lisan. Tidak hanya bisa memotret,”menurut Dedy.

Kematian media fotografi dapat disebabkan masalah komersil. Tapi, mungkin tidak direspon oleh masyarakat karena isinya kurang menarik. Segmen fotografi sangat sempit. Tapi, sekarang fotografi mulai memasyarakat lewat kamera digital. PAF juga berusaha memasyarakatkan fotografi dengan lomba Rally Foto yang bekerjasama dengan Fujifilm. Rally Foto lebih menekankan bukan pada sisi teknis pemotretan, tapi menjawab soal yang diberikan dengan gambar. “Itu salah satu cara untuk menggairahkan fotografi di masyarakat. Jika masyarakat terus-menerus dijejali media fotografi, mungkin akan bertambah komunitasnya,”kata Dedy.

Fotografi sebagai dunia seni memang tidak pernah usai. Kita tidak akan pernah usai mencari ilmu. Setiap foto memiliki psoses kreativitas. “Saya melihat majalah-majalah lama. Karena di kepala saya sudah ada konsep dan tujuan, begitu melihat foto saya terinspirasi. Inspirasi bisa datang dari mana saja,”kata Dedy. Tapi, tidak hanya berhenti di situ saja. Proses akhir harus tetap “eksekusi” dengan mencari objek yang akan difoto. “Biasanya trigger ide-ide muncul dari majalah-majalah,”kata Dedy.

Seorang pelukis dalam mencari ide sebelumnya melakukan kontemplasi. Pelukis itu bisa terinspirasi dari novel atau yang lain. Banya cara untuk mendapatkan ide. Perbedaan fotografer dengan pelukis terletak pada eksekusinya. Pelukis tinggal menuangkan idenya dalam kanvas, sedangkan fotografer harus terus mencari posisi akhir eksekusinya.

Teknis dalam media fotografi sangat diperlukan. Tapi, media fotografi harus memunculkan inspirasi baik dari tulisan maupun teknis.”Saya sampai sekarang punya ide, tapi tidak dapat dieksekusi karena kemampuan teknis saya kurang,”kata Dedy. Setiap fotografer memerlukan kehadiran media fotografi untuk mengapresiasi banyak foto untuk mengasah kemampuan. Mungkin, hal ini yang dapat menjadi celah untuk media fotografi yang hidup nanti. Semoga masih banyak cara untuk menghidupkan kembali media fotografi yang sudah mati.

Menelusuri Jejak Media Fotografi Indonesia

Media fotografi hadir menghiasi dunia fotografi sebagai media pembelajaran. Banyak fotografer yang mengalami metamorfosa dari ketidaktahuan hingga mencapai tahap professional. Tapi media fotografi harus bicara pada khalayak pembaca yang beragam. Pilihan yang muncul menjadi kendala di kemudian hari. Apakah kebutuhan semua khalayak fotografi harus disajikan dalam satu media? Hal ini berakibat media fotografi seakan ingin berlomba menjawab semua segmen. Tapi, pada akhirnya tidak semua segmen merasa terpuaskan.

Perkembangan media fotografi mengalami banyak rintangan. Baik yang muncul dari pembaca, maupun kendala manajemen. Tapi, mengapa sebuah media bisa mati? Kematian media fotografi pun tidak hanya terjadi pada satu penerbit. Media fotografi berguguran satu per satu. Jumlah yang berduka tidak sanggup menahan oplah yang tidak pernah bergeming. Ada apa dengan media fotografi.

Demi menjawab hal tersebut, penulis, Karlina Octaviany mewawancara Galih Sedayu, pekan lalu di Jonas Foto. Pria lulusan Manajemen Industri Universitas Jendral A. Yani ini tergabung dalam Persatuan Amatir Foto, Persatuan Fotografer Indonesia, Komunitas Pemotret Bandung, dan klub fotografi lainnya. Berikut petikan wawancaranya:

Apa saja media fotografi yang Anda ketahui?

Fotografi itu dunia yang luas. Jika bicara tentang media, berarti suatu wadah. Media fotografi yang berkembang di Bandung ada Fotoklik, Fotomedia, dan yang masih aktif Fotoplus. Dulu, Darwis Triadi membuat media fotografi A,walaupun kemuadian mati.  Bulletin PAF yang dibuat secara rutin untuk intern anggota PAF dan dibagikan secara gratis. Dulu, Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) di Jakarta mengeluarkan Fantasma dengan spirit jurnalistik. Hanya keluar beberapa edisi karena terhambat masalah dana sehingga akhirnya ditutup. Media fotografi berupa majalah yaitu Fotoklik dengan Prestige Foto Studio sebagai pengurusnya. Tapi, mati juga sehingga menyisakan sepenggal kecil media fotografi yang lahir dalam bentuk bulletin.

Apa yang menyebabkan media fotografi tersebut mati?

Berdasarkan penafsiran saya, orang membangun fondasi dari atas sehingga tidak kontinyu. Tidak hanya memerlukan spirit untuk menjadi pionir. Tetap diperlukan dana. Coba lihat bulletin PAF sebenarnya bentuk sederhana. Kita usahakan dengan swadaya pun bisa terealisasi. Tapi, untuk media fotografi yang eksklusif mengalami jatuh-bangun karena harus menghidupi karyawannya, dan membiayai percetakan. Jika tidak didukung dengan kemampuan manajemen dan dana, pasti mati. Ada juga media fotografi yang spesialiswedding, bernama My Perfect Wedding. Saat ini telah keluar dua edisi. Kita tunggu sampai berapa lama mereka bertahan? Saya hanya bisa mendukung.

Dalam membangun media fotografi, Apakah kemampuan fotografer harus bersinergi dengan kemampuan menulis?

Tergantung visi dan misi media fotografi itu. Misalnya, bulletin PAF yang berisikan karya-karya fotografer, kegiatan fotografi di Bandung, hunting foto, dan lainnya. Jika Anda melihat media fotografi Fantasma, memang diperlukan kemampuan menulis seperti jurnalis. Karena terdapat foto dan katerangan foto (caption photo).

Bagaimana tanggapan Anda tentang penyeragaman nilai foto dari sisi teknis dan mengabaikan makna foto?

Dalam Fotomedia terdapat rubrik tentang pengambilan teknis. Jika Anda mengirimkan foto ke sana harus dilengkapi dengan data teknis seperti ISO,shutter speed, diafragma, dan lainnya. Tergantung segmen. Jika untuk pemula masih “masuk” karena pemula wajib tahu tentang teknis kamera. Tapi, untuk level tertentu sudah tidak diperlukan teknik, lebih ke content terutama dalam duania jurnalistik. Data teknis dapat diabaikan dengan asumsi bahwa fotografer sudah mengerti teknis, tapi yang penting content. Apakah Anda pernah mendengar fotografer Kevin Carter? Dia memotret anak kecil Somalia yang sedang mengambil makanan. Namun, ketika itu anak tersebut jatuh dan di belakangnya terdapat burung Nazar. Foto itu mendapat Pulitzer, tapi fotografernya mendapat kecaman masyarakat. Karena tidak tahan akhirnya fotografer itu bunuh diri. Ironisnya, anak yang jatuh itu tetap hidup. Foto jurnalistik tidak lagi membahas hal teknis, tapi bagaimana foto membawa pesan.

Mengapa media fotografi selalu membahas fotografi dasar?

Mungkin karena pendidikan fotografi di Indonesia tertinggal jauh dengan Eropa. Alat-alat fotografi juga ketinggalan 10 tahun.Jika di sana levelnya sudahadvance, di sini terus membahas fotografi dasar. Mungkin karena kultur orang Indonesia lebih lama menyerap ilmu fotografi dasar atau pengetahuan orang-orang hanya sampai dasar saja. Hal ini mungkin menyebabkan munculnya sekolah-sekolah fotografi atau kursus yang mengkhususkan diri pada fotografi dasar. Tapi, untuk level advance sebaiknya menimba ilmu lebih tinggi lagi. Makanya, banyak yang memilih belajar ke luar negri atau dengan otodidak. Banyak yang belajar dari buku-buku fotografi yang banyak beredar.

Menurut Anda, lebih efektif mana belajar lewat buku atau majalah?

Sama saja. Tapi, majalah memiliki keterbatasan media. Buku dapat membahas permasalahan dari awal sampai akhir. Kita tinggal menilai secara sistematis. Majalah membahas per edisi pengenalan kamera, berikutnya foto outdoor.Jika harus memilih, saya pilih buku.

Apakah ada korelasi antara kurangnya minat mendalami fotografi dengan matinya media fotografi?

Berdasarkan pengalaman, ada segelintir orang yang mempelajari fotografi karena keharusan untuk makan. Jadi, hanya bisa motret dan dari hasil itu mendapatkan uang. Tapi, ada orang yang ingin mempelajari lebih dalam sampai dikatakan fotografer professional sehingga ilmu fotografi digali lebih dalam. Ada yang ketika belajar fotografi dasar merasa tidak tertarik dan memilih membuka lab cuci-cetak. Ada yang memilih menjadi dosen. Dunia fotografi itu cakupannya luas sehingga pilihan orang terhadap aplikasi ilmunya itu berbeda-beda.

Jika fotografer terspesialisasi, apakah media fotografi juga akan terspesialisasi?

Bahkan ada sub-subnya. Misalnya kebutuhan akan fotografer fashion. Kebutuhan akan menjadi fotografer fashion yang cirri khasnya ekstrem, pictorial, kontemporal atau eksperimental. Suatu saat pasti akan ada kebutuhan seperti itu, tapi masih lama. Apalagi di Indonesia baru ada fotografer spesialiswedding atau portrait.

Apakah situs fotografi mempengaruhi penjualan media fotografi?

Pasti sedikit-banyak berpengaruh. Tapi, media fotografi dalam bentuk cetak sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman, fotografer atau pelaku bisnis perlu informasi tentang produk baru, bisnis yang lagi in, atau tentang teknis. Karena saya bergabung denan beberapa komunitas fotografi, saya tahu bahwa teman-teman fotografer lebih mudah mengakses informasi dengan membaca daripadabrowsing.

Apa penyebab kematian media fotografi secara keseluruhan?

Saya melihat, pertama pasar harus dicreate. Tidak ada yang memelihara komunitas. Setelah Fotomedia tidak ada muncul situs-situs internet seperti Fotografer. Net. Hal ini membuktikan bahwa mereka perlu komunitas. Media fotografi seperti Fotomedia, Fotoklik, dan lain-lain tidak menjaga komunitas pembaca. Kedua, untuk masalah modal tergantung pelaku bisnis. Tapi, yang penting rasa loyalitas muncul dari komunitas pembaca. Apabila dijaga dan dipelihara mereka aka loyal untuk terus membeli.

Segmen pembaca mana yang Anda nilai komersial?

Kesulitannya di Bandung belum merata. Di Jakarta mulai merata antara fotografer komersial, wedding, dan potrait. Saya melihat Bandung banyak yang bergelut di bidang wedding, banyak yang cenderung ke arah sana. Pada saat ingin berkerativitas mereka butuh wadah atau media yang menambah kemampuan mereka. Tidak perlu takut karena konsumen, pasti banyak yang membeli.

Harapan Anda terhadap media fotografi?

Pertama, fotografer senang jika karyanya medapat publisitas. Jika ada satu media bisa berisi tentang kara-karya fotografer. Tidak usah membahas teknis terus, tapi apa yang disampaikan oleh foto. Bisa juga tentang info produk. Timbul kebosanan karena pembahasan selalu fotografi dasar. 

Akhir Tragis Media Fotografi

Sebuah kisah bahagia muncul ketika media fotografi tampak menjamur. Semua berpikir media fotografi adalah pangsa pasar yang komersial. Kemudian, media-media itu disadarkan oleh kejatuhan oplahnya. Euphoria itu langsung berhenti. Media fotografi terseret oleh defisit anggaran yang membebani mereka. Ada yang bertahan, tapi banyak yang tumbang.

Kematian media fotografi saling menyusul. Menyisakan luka yang mendalam bagi yang mengenalnya. Begitu banyak yang berduka, tapi tidak mampu mengubah kenyataan. Media fotografi dinilai sebagai media yang tidak mendatangkan profit. Berbagai cara sudah ditempuh oleh media fotografi untuk menaikkan pamornya. Penulis artikel dipilih orang-orang yag senior di bidang fotografi, mengikuti tren fotografi, dan banyak lagi cara.

Jumlah pemilik kamera di Indonesia yang cukup besar, mencapai jutaan. Sayangnya dari angka itu yang ingin mendalami ilmu fotografi tidak sampai 5%. Berbagai langkah telah ditempuh, tapi tidak membawa langit cerah pada media fotografi. Apakah kesalahan media fotografi?

Handoyo, mantan pemilik media fotografi, Fotoklik, mengungkapkan alasan penutupan media itu. Fotoklik beredar tahun Januari 2001. Terbit sebanyak 3000-5000 eksemplar. Pria lulusan Seni Rupa ITB ini pada awalnya mencita-citakan untuk berbagi ilmu kepada masyarakat tentang luasnya fotografi dan kemiskinan Indonesia akan ilmunya. “Tapi, tidak ada yang mau mengurus. Jadi, berhenti sekarang,”keluh Handoyo.Awalnya, Handoyo merintis usaha ini karena kecintaannya pada dunia fotografi. Bahkan, pria pemilik Prestige Foto Studio ini berusaha keras mempertahankan Fotoklik di tengah kerugian yang dideritanya.

Bahan untuk isi Fotoklik disadur dari internet dan menerjemahkan media luar negri. Tapi, untuk melakukan penerjemahan harus memiliki dasar fotografi yang kuat karena banyaknya istilah fotografi. Handoyo pernah mempekerjakan lulusan Sastra Inggris Universitas Maranatha. Hasilnya sangat mengecewakan. Bahasa yang digunakan sangat kaku sehingga tidak enak dibaca.  Fotoklik menangani semua segmen fotografi, baik yang professional, maupun pemula. Dengan berbekal tiga orang pengurus, Fotoklik hanya mampu bertahan tujuh edisi.

Proses pembuatannya sangat menguras waktu. “Sampai tidak tidur,”keluh Handoyo. Kemampuan utnuk menulis ulang nyatanya tidak mudah. Menerjemahkan artikel-artikel berbahasa Inggris membutuhkan proses yang lama. Mulai dari penerjemahan, editing, print ulang, bikin film, koreksi lagi,approve cetak, koreksi, baru dicetak. Tapi, tetap saja banyak yang terlewat seperti penulisan merk. Handoyo pernah mengalami peristiwa tidak menyenangkan karena review yang ditulisnya tentang kamera Samsung yang kurang baik. Perusahaan Samsung mengamcam menuntutnya karena tulisan Handoyo itu. Setelah dibujuk dengan iklan gratis satu halaman penuh dan berwarna, Samsung tidak berkutik. Tapi, lagi-lagi Handoyo merugi.

Biaya produksi untuk satu majalah mencapai Rp 10.500,00. Kemudian, dijual   Rp 15.000,00. Keuntungan yang didapat dari penjualan satu majalah hanya Rp 4.500,00. Namun, harus mendapat potongan 20% sehingga hanya menyisakan keuntungan            Rp 500,00. Sungguh tragis untuk nasib sebuah majalah hobi eksklusif. “Akhirnya, ini proyek rugi. TekorRp 80 juta,”ujar Handoyo.

Kesulitan yang paling besar dirasakan Handoyo ketika mencari SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkompeten di dunia fotografi. Sedihnya, tidak ada yang bersedia. Pertama, karena banyak menguras waktu. Kedua, kurangnya dedikasi yang tinggi pada dunia fotografi. Banyak orang yang takut karyanya dijiplak jika membagi ilmunya dalam media fotografi. “Ilmu fotografi itu tidak akan bisa dijiplak sebetulnya,”tegas Handoyo.

Handoyo mengeluhkan waktunya yang tersita karena pekerjaannya yang lain, seperti pemilik studio foto, arsitek, dan desain interior. Kadang, Handoyo harus bersedia merelakan Fotoklik yang seharusnya terbit satu bulan sekali molor hingga dua bulan. Sedangkan, media sangat memerlukan kontinuitas. Akibatnya pembaca menjadi malas sehingga penjualan menurun.

Kendala lain yang muncul ketika Handoyo harus mendistribusikannya. Dalam mendistribusikan media harus melakukan survei tempat yang akan memakan biaya besar. Padahal survei sangat bermanfaat untuk mengetahui tempat yang potensial untuk memasarkan media. Akhirnya, hanya bisa mendistribusikan ke Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan, kota-kota kecil merupakan potensial market. Seharusnya untuk pemasaran memerlukan sales. Tapi, dengan untung Rp 500,00 tidak mungkin untuk menggaji orang lagi.

Iklan juga menjadi masalah besar. Banyak pemasang iklan yang enggan masuk karena mahalnya harga pemasangan iklan. Tarif untuk satu halaman iklan mencapai Rp 7,5 juta. Para pemasang iklan mundur karena mereka lebih memilih memasang iklan di media dengan jangkauan nasional seperti Kompas.Handoyo membatasi iklan yang masuk harus berkaitan dengan fotografi.

Majalah fotografi di luar negri sukses karena mereka mampu menekan biaya produksi dengan jumlah pemasang iklan yang banyak. Pemasang iklan di Indonesia kurang menghargai majalah fotografi. Misalnya, Nikon¾produsen kamera¾ lebih memilih iklan di koran daripada media fotografi.

Banyak orang Indonesia kurang pengetahuannya di bidang fotografi. Mengapa? Karena miskinnya majalah fotografi dan perkembangan ilmu fotografi sangat miskin. Mungkin karena fotografi masih barang mewah di Indonesia. Karena negara kita berbentuk segitiga dan yang terbanyak kalangan bawah. Akibatnya fotografi tidak bisa dinikmati semua orang. Akhirnya, satu media fotografi gugur.

Mendekati Pasar dengan Wedding

Media fotografi yang spesialis sangat sedikit jumlahnya. Salah satunga adalah majalah Seasons yang konsentrasinya di bidang wedding. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Banyak sponsor yang berdatangan pada media gratis ini. Hadi Lesmana, pemilik majalah Seasons, merasa perlu mendekati pasar dengan hal yang berhubungan langsung dengan mereka. Sehingga pembaca tidak terbatas pada fotografer wedding saja, tapi juga para pengusaha dan orang yang hendak menikah.

Iklan yang masuk dapat dari berbagai aspek, seperti tata rias, gaun,event organizer, katering, dan fotografer. Pengusaha di bidang weddingternyata sangat menjamur di Bandung. Tapi, belum ada media di Bandung yang memfasilitasi mereka untuk berpromosi. Oleh karena itu, Hadi dan teman-temannya memutuskan membuka majalah yang bergerak di bidang wedding. Untuk isi, Hadi lebih memilih dengan sistem kerjasama  yang menguntungkan kedua pihak.

Spesialisasi merupakan hal yang sering dilupakan media fotografi. “Segmentasi mereka tidak kena sehingga masyarakat kurang aware,” kata Hadi. Media fotografi banyak bermunculan dalam wajah yang nyaris sama, mengupas fotografi dasar. Akibatnya, media tidak punya  ciri khas.

Perkembangan media fotografi  seharusnya menampilkan angle yang berbeda sehingga masyarakat tidak bosan. Hampir semua memilih fotgrafi dasar sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang baru.

Dalam menjaga komunitas, Seasons akan memilih segmen pasar dengan meletakkan medianya secara terbatas terutama untuk kalangan menengah ke atas. “Sehingga kita dapat menghajar pasar secar jelas,”ungkap Hadi.

Media fotografi seharusnya sudah mulai berpikir segmented. Jangan ingin menjawab semua kebutuhan sampai tidak ada satu pun yang terpuaskan. Spesialisasi yang dipilih juga harus melihat target market yang ada. Pasar potensial harus segera dibidik sebelum ada yang mengambil duluan. Ingin menjadi perintis atau follower?

Media Fotografi Lemah Menangkap Pasar

.”Kasihan, ”ujar Dudi Sugandi, redaktur foto Pikiran Rakyat (PR),menyayangkan banyaknya media fotografi yang berguguran. Kesalahan terbesar media fotografi pada kelemahan menangkap pasar. PR dulu pernah memberikan sisipan koran tentang fotografi yang bernama Klik. Tanggapan masyarakat sangat positif. Sayangnya, karena krisis moneter PR menguruskan halamannya hingga Klik harus tamat.

Klik lebih berisi tentang wawasan daripada teknis. Sedangkan, media fotografi banyak bergerak di teknis sehingga orang yang sudah memiliki keahlian fotografi malas untuk membeli. Pengelola media harusnya menyediakan orang yang suka menulis dan tertarik di dunia fotografi. “Jika dilandasi rasa suka, sebetulnya tidak masalah,”ungkap Dudi. Pekerjaan sebagai wartawan juga memiliki tingkat stress yang tinggi karena deadline. Tapi, karena mereka suka maka tidak terasa sebagai beban.

Bekal yang diperlukan dalam membuat media fotografi terutama dalam masalah SDM. Dunia fotografi baru dirasakan perlu ketika akan mendokumentasikan perjalanan. Tapi, orang lupa ketika presentasi mereka perlu fotografi, orang asuransi butuh untuk data, penjual properti, dan lainnya.

Perkembangan teknologi membuat dunia fotografi meningkat. Saat fotografi sudah memasyarakat, media fotografi sudah tidak ada. Media fotografi di sini bisa bertindak untuk mengenalkan dunia fotografi yang bersentuhan langsung dengan pasar. Misalnya, penerangan teknologi tentang kamera handphone yang sedang marak sekarang.

“Syaratnya, bisa membaca pasar sekarang, pasar dunia fotografi ke depannya, dan content fotografi,”kata Dudi tentang syarat yang diperlukan media fotografi. Majalah otomotif yang juga bergerak di bidang hobi bisa lebih sukses karena pembahasannya menyentuh kehidupan sehari-hari. Sedangkan, kebutuhan akan fotografi baru terasa pada momen khusus. Tapi, sekarang fotografi sudah menyentuh kehidupan sehari-hari dengan kemunculanhandphone kamera. Media fotografi harusnya menangkap pasar yang dekat di hati masyarakat, bukan secara eksklusif.

Media fotografi bisa bergerak di bidang yang dekat dengan kehidupan, terutama fotografi digital. Banyak orang yang hanya tahu memakai, tapi tidak tahu fungsi kamera. Media fotografi harus dapat mengenalkan fungsi-fungsi itu. Misalnya, seseorang tahu jika dengan diafragma 5,6 hasil foto dalam kondisi yang sama akan bagus. Tapi, ia tidak mengerti mengapa diafragmanya harus 5,6.

Orang dulu berpikir untuk suka dunia fotografi karena hobi yang mahal. Misalnya, biaya kamera, film, cuci-cetak, dan lainnya. Jika suka pun mereka terus berpikir untuk balik-modalnya nanti. Akhirnya, fotografi kurang diminati karena dinilai terlalu eksklusif. Profesi fotografer juga belum dapat menjadi penghidupan. Misalnya, di PAF (Perhimpunan Amtir Foto) banyak yang suka fotografi. Tapi, menjadikan fotografi sebagai bagian dari hidup, bukan profesi.

Media fotografi kurang mampu membaca pasar dengan terus-menerus menampilkan fotografi dasar. Orang cenderung bosan karena hampir semua membahas hal yang sama. “Harus ada yang dimunculkan secara kreatif,”kata Dudi. Seharusnya

fotografi menangkap hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya, untuk kamera handphone dengan kemampuan megapixel yang ada mampu hingga perbesaran 4R.

Kemunculan situs fotografi dinilai Dudi sangat berpengaruh. “Sekarang orang bisa lebih belajar sendiri,”ungkapnya. Dulu, jika ingin otodidak harus banyak bertanya, membeli buku fotografi yang mahal, dan mengikuti seminar fotografi. Sekarang, ilmu fotografi lebih mudah diakses dari internet.

Media fotografi diperlukan untuk menambah pengetahuan. Fotografi dasar lebih cepat diserap dengan digital karena langsung dapat menilai hasilnya.  Lewat foto-fotonya di Pikiran Rakyat, Dudi mengharap masyarakat lebih tertarik dengan dunia fotografi. Misalnya, PR Minggu banyak memuat karya foto dengan teknis tertentu.”Orang akan terbiasa melihat foto-foto yang aneh,”kata Dudi. Suarat kabar memberikan pembelajaran pada masyarakat.

Perkembangan digital mengembangkan fotografi sehingga memasyarakat. Sudah saatnya, media fotografi mulai bangkit dari ketakutan akan kegagalan masa lalu. Masyarakat kini sudah mulai bergerak maju. Tinggal tunggu saja kapan media fotografi akan maju.

KASSIAN CEPHAS, Legenda Pemotret Indonesia dan Saksi Sejarah Fotografi Tanah Air

KASSIAN CEPHAS, Legenda Pemotret Indonesia dan Saksi Sejarah Fotografi Tanah Air

Sebuah catatan singkat tentang pemotret pribumi pertama di indonesia

Tulisan oleh Galih Sedayu (Fotografer, Pengajar & Pegiat Fotografi)

Kassian Cephas, 1905 (Courtesy P.Cephas)

Kassian Cephas. Tidak bisa dipungkiri bahwa nama besar tersebut erat kaitannya dengan keberadaan  dan identitas fotografi indonesia. Cephas banyak disebut sebagai pelopor pemotret pribumi yang pertama di indonesia. Terlahir dengan nama Kasihan di Kota Yogyakarta pada tanggal 15 Januari 1845, merupakan putra dari seorang ayah yang bernama Kartodrono dan seorang ibu yang bernama Minah. Tetapi beberapa literatur menyebutkan bahwa Cephas merupakan anak asli orang belanda yang bernama Frederik Bernard Franciscus Schalk dan lahir pada tanggal 15 Februari 1844. Setelah masuk kristen protestan dan dibaptis pada tanggal 27 Desember 1860 di sebuah gereja di Kota Purworejo, nama Kasihan berubah menjadi Kassian Cephas. Nama “Cephas” tersebut merupakan nama baptis yang sama artinya dengan Petrus dalam bahasa indonesia.

Cephas belajar fotografi untuk pertama kalinya kepada seorang fotografer dan pelukis yang bernama Isodore Van Kinsbergen di Jawa Tengah poda kurun waktu 1863-1875. Selain Kinsbergen, Cephas pun sempat berguru kepada Simon Willem Camerik, seorang fotografer dan pelukis yang kerap mendapatkan tugas memotret kraton Yogyakarta dari Sultan Hamengkubuwono VII. Pada tahun 1870 ketika Camerik meninggalkan Yogyakarta, Cephas diberi amanat oleh Sultan Hamengkubuwono VII sebagai fotografer dan pelukis resmi kraton Yogyakarta.  Karya foto pertama Cephas menggambarkan obyek Candi Borobudur yang dibuat pada tahun 1872.

Circa 1890. KITLV 40154; 11×16 cm ; albumen print

Cephas memiliki sebuah studio foto di daerah Loji Kecil yang sekarang letaknya berada di Jalan Mayor Suryotomo dekat Sungai Code di Jawa Tengah. Cephas pun mempunyai seorang asisten foto yang bernama Damoen. Nama Cephas semakin bersinar ketika Isaac Groneman yaitu seorang dokter resmi sultan asal belanda memujinya di sebuah artikel yang ia tulis untuk untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia) pada tahun 1884. Kemudian Cephas bergabung dengan sebuah perkumpulan yang didirikan oleh Isaac Groneman dan J.W. Ijzerman mendirikan Vereeniging voor Oudheid-, Land,- Taal- en Volskenkunde te Yogjakarta (Union for Archeology, Geography, Language and Etnography of Yogyakarta) pada tahun 1885 ( yang selanjutnya disebut Vereeniging voor Oudheid). Karir Cephas pun semakin meningkat ketika ia bergabung dengan perkumpulan tersebut. Terbukti ketika karya-karya foto Cephas masuk ke dalam dua buah buku yang dibuat oleh Isaac Groneman, In den Kedaton te Jogjakarta dan De garebeg’s te Ngayogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit komersial Brill di kota Leiden pada tahun 1888. In den Kedaton berisi tulisan dan gambar collotypes tarian tradisional Jawa. Sedangkan De garebeg’s berisi tulisan dan gambar upacara Garebeg. Semua gambar foto collotype dibuat Chepas atas ijin dari Sultan Hamengkubuwono VII. Kompilasi karya Cephas pun kemudian dijadikan souvenir bagi kaum elit eropa yang akan pulang ke negaranya serta kaum pejabat baru belanda yang mulai bertugas di Kota Yogyakarta.

Tittle Page of De garebeg’s

Pada tahun 1889-1890 Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Cephas untuk membuat foto tentang situs-situs Hindu-Jawa Kuno di Jawa Tengah. Dimana Candi Borubudur merupakan salah satu obyek foto situs tersebut setelah penemuan dasar tersembunyi yang memuat relief Karmavibhanga pada tahun 1885 oleh J.W. Ijzerman. Setelah berakhirnya proyek pengangkatan relief Candi Borobudur di akhir tahun 1891, jumlah foto yang dihasilkan Chepas adalah 164 foto dasar tersembunyi, 160 foto relief dan 4 foto situs Borobudur. Pada saat yang bersamaan, Cephas memperoleh status gelijkgesteld met Europanen (sejajar dengan orang Eropa) untuk dirinya dan kedua anaknya, Sem dan Fares dari Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1892 Chepas diangkat sebagai anggota luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia. Cephas pun pernah mendapat kesempatan untuk memotret kunjungan Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand ketika raja tersebut menyambangi Yogyakarta pada tahun 1896. Salah satu jejak karya Cephas yang lain adalah Buku Wajang orang Pregiwa yang dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono VII untuk kemudian diberikan kepada Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin sebagai hadiah pernikahan mereka berdua.

Cover of the Wajang orang Pergiwa

Pada saat Cephas berumur 60 tahun, beliau mulai pensiun dari bisnis fotografi yang digelutinya. Dimana Sem, putra Cephas lah yang meneruskan karirnya di dunia fotografi. Tanggal 16 November 1912 menjadi hari yang bersejarah. Kassian Cephas meninggal dunia setelah mengalami sakit yang berkepanjangan. Cephas dimakamkan di Kuburan Sasanalaya yang terletak antara pasar Beringharjo dan Loji kecil. Begitulah sekelumit episode singkat tentang kehidupan Kassian Cephas, seorang pahlawan fotografi indonesia yang menjadi legenda. Yang ironisnya kadang dilupakan oleh sebagian individu yang menyebut dirinya fotografer indonesia. Walaubagaimanapun nama Kassian Cephas harus terus tercatat di dalam lembaran sejarah fotografi indonesia. Seorang tokoh yang begitu banyak menghadirkan jejak karyanya seiring dengan sejarah perkembangan bangsa indonesia. Agar menjadi bagi kita sebuah kisah yang terus menyulut api semangat dan menanamkan pohon inspirasi tidak hanya bagi para pewarta cahaya melainkan juga bagi sebuah bangsa yang merdeka.

Sumber Pustaka :

* Groeneveld, Anneke. (ed.). 1989. Toekang Potret; 100 Jaar Fotografie in Nederlandsch Indie 1839-1939. Amsterdam: Fragment.

* Knaap, Gerit. 1999. Chepas, Yogyakarta; Photography in the service of Sultan. Leiden: KITLV Press.

Gapura Hati

Ilustrasi: cuplikan poster Pameran Foto dan Peluncuran Buku “Omar’s Visual Journey”, 5-23 Oktober 2010, GFJA Jl. Antara No. 59 Pasar Baru Jakarta 10710.

Gapura Hati

Oleh Oscar Motuloh

Anak muda berambut hitam ikal itu menggenggam kameranya. Memasukkannya ke dalam ransel yang berisi pakaian seadanya. Ada sneaker, tshirt warna cerah, notes alamat, dan tentu sebentuk buku harian yang selalu menemani dalam perjalanannya. Dia. Omar Taraki Niode namanya, merogoh ransel kesayangannya dan meraba-raba isinya. Sebentuk senyum mengembang, melenyapkan kerenyit di dahinya yang berpeluh. Omar menemukan rekan perjalanannya. “Lonely Planet India” dalam genggamannya.

Matahari menyengat ketika dia sampai di kawasan wisata budaya, Taj Mahal, di Agra. Omar sengaja memilih perjalanan ke India Utara itu dalam periode low-season. Dengan modal 600 dolar AS, dia nekat melakukan perjalanan seorang diri. Barangkali suasana pasifis di tempat kuliahnya di University of California membuatnya agak jenuh dan membangkitkan keinginannya untuk bertualang. Maka perjalanan tiga pekan ini di beberapa lokasi, barangkali, akan membuatnya, nanti, seperti baterai yang baru di-charge.

Goresan pena dalam buku harian itu, dan sejumlah memori visual yang terekam kameranya seperti menyiratkan suatu kekuatan naif fotografi dalam menyingkap waktu-waktu yang berlalu. Menceritakan kisah-kisah pribadi yang sangat ekspresif di suatu bulan dalam tahun 2006. Meskipun Omar bukan seorang penyair macam orang-orang ternama, atau fotografer masyur yang dielukan-elukan orang banyak. Namun karya yang dibuat dari jiwa terdalam insan manusia tetaplah suatu bentuk persembahan yang selalu mampu menyentuh kalbu terdalam dari sanubari manusia.

Lupakan sastrawan mbeling era generasi bunga, Jack Kerouac (1922-1969), yang melakukan perjalanan seperti karyanya, “Lonesome Traveler” dan kemudian mati muda. Singkirkan karya Richard Avedon (1923-2004) fotografer portraiture yang sangat berpengaruh dalam dekade-dekade sebelum dia berpulang. Mereka tadi sesungguhnya melakukan sentuhan-sentuhan dasar seperti juga yang dilakukan mahasiswa awam seperti Omar. Dia mencatat semua dari hatinya. Menuliskannya, atau menekankan shutter kameranya untuk dapat kita nikmati.

Catatan visual Omar yang sedang kita simak ini, hakekatnya adalah sebentuk suara jiwa dalam kesendiriannya. Coba kita simak foto tanah gersang dan kambing-kambing di tepian monumen cinta Taj Mahal. Atau juga interior taksi yang merefleksikan sejumlah pantulan-pantulan berkilau di kawasan akar rumput khas Kolkata. Beberapa detil candi, dan juga tekstur-tekstur dari suatu catatan sejarah yang menyentuh hatinya.

Guratan tinta yang tertera dalam sebentuk buku tulis butut biru yang dia cintai ini adalah seruannya, penyesalan khas anak muda, kerinduannya pada keluarga, sahabat dan kekasih. Karenanya paduan yang dilihatnya, dan tulisan yang dirasakannya, seremeh temehnya, tetaplah suatu karya menarik untuk bisa kita nikmati dengan penuh perasaan. Untuk dapat kita renungkan sebagai suatu perjalanan jiwa bagi siapapun yang menyimaknya.

Semangat kemudaan, spontanitas, impulsif, pengetahuan, minat pada sejarah dan hasrat hatinya tentulah menjadi semacam buluh perindu yang bisa kita bayangkan sebagai kita. Pada perspektif kita, yang melihat dunia melalui mata dan hati. Bukankah kesaling-pengertian selalu berawal dari interaksi yang dimulai dari rasa kesederajatan dan persaudaraan?

Anak muda yang amat gemar melakukan perjalanan, di waktu senggang kuliahnya, tampaknya ditakdirkan tak harus melanjutkan catatan harian dan klik kameranya. Dia harus berpulang ke Ilahi pada usia belia (25 tahun), di awal 2009. Membuat SMU Robert Louis Stevenson di San Francisco tempatnya menempuh pendidikan sebelum melanjutkan belajar di perguruan tinggi, seperti membangkitkan dirinya melakukan perjalanan dengan Robinson Crusoe, tokoh petualangan ciptaan Stevenson.

Lalu apa sesungguhnya makna dari kefanaan fisik, yang tak mungkin ditentang suratan-Nya oleh umat manusia? Kecuali, kita percaya bahwa anak-anak muda seperti Omar, yang memiliki catatan jiwa dan rekaman visual dari kamera sebagai lensa pribadinya, sesungguhnya tak akan pernah pergi. Sebab, untuk itulah buku “Omar’s Visual Journey” ini dihadirkan. Ada, sebagai sarana berbagi, perihal suara yang bergelora dari hatinya. Atau, semacam pertanda bahwa jiwanya selalu hadir. Supaya kisah-kisahnya dapat diceritakan.

“There’s always some room for improvisation.”
-Satyajit Ray (1921-1992), sutradara terkemuka India

Oscar Motuloh
Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)

MENGGUGAH RUANG APRESIASI FOTOGRAFI, Pertemuan Ongkoss, 23 Agustus 2010

Ruang petak pulas hijau itu kini menjadi ruang diskusi. Tumpukan buku yang rindu untuk dibaca kemudian jadi tantangan buat siapa saja yang menyapanya. Ruang inilah yang ditawarkan Dadang Jauhari, leader Republic of Entertainment, untuk dinikmati bersama. Apalagi kalau bukan ruang Wawan Juanda (Alm) library, teritorial gudang ilmu yang didedikasikan untuk ruang publik komunitas kreatif. Kesempatan ini disambar forum diskusi fotografi ONGKOSS, dalam perbincangan “Ruang Apresiasi Fotografi” untuk pertemuan bulan Agustus.

Seperti biasa, entah itu jadi trend. Waktu di kota Bandung serasa penuh dengan norma-norma toleransi yang sangat tinggi sekali. Terlambat itu bukan lagi dalam hitungan detik-menit, namun jam. Hal biasalah, malah aneh kalau tepat waktu. Begitu juga dengan waktu undangan pada kegiatan forum diskusi Omong Kosong Sore-sore/ONGKOSS, pertemuan bulan ke-tiga, hari senin, 23 Agustus 2010. Pukul empat ternyata harus kalah dengan produsen karet, akhirnya jam lima adalah angka negosiasi yang pas. Satu pertastu partisipan hadir, sebutlah Sjuaibun Iljas dan Iwan Santosa selaku dosen fotografi. Riadi Raharja, Agus Wahyudi, Tisna, Argus, Usenk, Eki, Roni, Galih Sedayu dan Mia. Acara dibuka oleh Deni Sugandi, melemparkan topik diskusi, yaitu menyoal ruang apresiasi fotografi di Bandung.

Ruang apresiasi yang dimaksud, bukan berupa bentuk fisik ruang pamer saja, melainkan bisa berupa ruang adu wacana, ruang diskusi, ruang baca, ruang presentasi ataupun ruang di dunia maya sekalipun. Kembali membatasi berbicara seputar ruang pamer-foto, di Bandung, Mia Damayanti telah membuktikannya, bahwa banyak ruang alternatif yang ada. Seperti pada pamerannya di sebuah café di jalan Bagusrangin, dalam pameran karyanya “Jazz-Poster & Post it” tanggal 11 Juli hingga 7 Agustus 2010 lalu. “Malahan dari pihak café pun tidak memungut biaya dan ketentuan-ketentuan khusus, yang misalnya harus menghadirkan orang pada acara pameran ini” jelasnya. Sebutlah, ruang alternatif seperti ini begitu banyak hadir di kota Bandung, yang konon kota kuliner, yang menandakan masyarakatnya sangat komsumtif. Entah itu di dalam kota, hingga kepuncak-puncak bukit pinggiran kabupaten Bandung utara. Mia Damayanti sangat bersukur diberi kebebasan lebih, bisa mengapresiasikan karyanya di ruang publik-komersil ini. Tidak seperti sebuah café di Cikapayang Dago, yang memang membranding dirinya sebagai ruang apresiasi pamer karya foto, menyebut namanyapun “sangat fotografi” namun sayang sekali, pemiliknya tidak berupaya mengapresiasi karya foto. Sebut saja pameran karya kawan-kawan dari kampus, dengan tajuk “Panggung Selebrasi” yang dipamerkan di café tersebut, dari tanggal 8 hingga 10 Mei 2010. Sungguh sangat prihatin, tata letak dan cara penyajiannya membunuh karya foto tersebut. (lihat artikel momen-artifisial-catatan-pameran). Jelas membuktikan, ruang alternatif tersebut kadang bisa menjadi buruk.

Seperti Sandy Jaya Saputra, yang biasa dipanggil Useng ungkapkan, bahwa karya pun tidak melulu harus hadir di ruang seperti itu. Dalam garapannya bersama kawan-kawannya di Brigadephoto#, ruang garasi belum jadipun bisa menjadi ruang apresiasi. (lihat Just Kick The Wall) Semuanya berpulang pada konsep apa yang hendak dibangun dan komunikasi apa yang akan disampaikan.

Berpameran karya fotografi, tentunya tidak begitu saja, selain gagasan, bentuk sajian dan promo, hal terpenting adalah mengkomunikasikan ide kreator. Disinilah dibutuhkan seorang kurator, menyambung lidah dari karya pameran ini pada publik. Karena ketika dihadirkan diruang publik, tentunya menjadi konsumsi penikmat foto. Komentar baik maupun buruk, tentu saja berpulang kepada publik itu sendiri. Jadi berpameran itu adalah bentuk tanggung jawab karya. Mengapa harus berpameran?

Tentu saja, ada alasan khusus. Bila tidak mempunyai motivasi, buat apa menghabiskan dana, waktu dan tenaga. Bila dilihat dari motifnya, pameran dilaksanakan karena ingin mengkomunikasikan karya kepada publik. Bila tidak ingin dihujat, saran yang terbaik adalah narsis dibalik layar monitor komputer. Selain itu sebagai sarana untuk “jualan” Perlakuan seperti ini sering terjadi di dunia fotografi komersial, entah itu penjualan lansung karya tesebut maupun bersifat benefit, menjual citra fotografer itu sendiri.

Sebagai penanda karir, atau dalam dunia profesi pekerja seni fotografi, update karya adalah penting, sehingga bisa menandai hasil karya lalu dengan karya berikutnya. Bisa juga sebagai mencari jejaring dan branding. Bagi pekerja seni fotografi, bentuk ciri karya individual akan menjadi benda koleksi. Hal ini hanya terjadi di ruang gallery, lengkap dengan kurator sebagai “penjaja karya” pada publik. Selebihnya adalah bentuk aktualisasi diri. Bentuk kontemplatif ini bisa disebut sebagai mengajak penikmat foto menyelami suatu persoalan. Bahasa yang bisa dimunculkan adalah opini si kreator yang bersangkutan. Bila komunikasi visual tersebut dimengerti penikmat foto, maka karya tersebut tidak penting lagi.

Kembali pada ruang apresisasi pameran karya. Sepakat dikatakan bahwa ruang ruang semacam itu ada. Yang jadi persoalan adalah kehendak dari si kreator tersebut menggelar karyanya. Menurut Tisna, ada dua kemungkinan, apakah karena tidak tahu bagaimana tata cara berpameran, atau tidak mempunyai keberanian. Galih Sedayu menimpali, untuk urusan manajemen pameran, ia pun telah mengusahakan bersama kawan-kawan yang lain. Dalam catatannya nyapun ia pernah membantu, diataranya pewarta foto Andri Gurnita, menyelenggarakan pameran foto di Gedung Indonesia Menggugat setahun lalu. Jadi untuk organising dan manajemen pameran pun sudah ada di Bandung.

Untuk masalah keberanian, Sandy melihat seharusnya dunia pendidikan; penyelenggara pendidikan atau pendidiklah yang seharusnya lebih bertanggung jawab. “Inilah fotografi Indonesia” ucap Ray Bachtiar pada pertemuan Ongkoss sebulan lalu, menyikapi kondisi kekinian. Pada akhirnya masalah ini menjadi beban bersama, “Ruang diskusi pun merupakan salah satu ruang apresiasi” kata Galih. Pada akhirnya geliat fotografi di kota Bandung yang seharusnya lebih merangsang, kini kehilangan nafsunya. Karena keberanian berpameran itu bukan agenda penting lagi bagi sebagian penghasil karya foto di Bandung. Karena pilihan tersebut memang tidak pernah ada. (denisugandi@gmail.com)

Artikel Berita Acara Photo Ramadhan VI

PENAWARAN LUBANG JARUM, Gathering buka puasa bersama fotografer Bandung, 21 Agustus 2010

Gerimis mengundang, begitulah akhir dari cerita berbagi cerita komunitas, yang sedianya diselenggarakan diluar ruang, akhirnya ditarik dalam ruangan. Apapun yang terjadi, terjadilah; dalam kemasan silaturahmi para hobies, profesional fotografer pada acara Photo Ramadhan, di Puri Suralaya Wedding House jalan Soekarno-Hatta, tanggal 21 Agustus 2010. Acara yang secara konsisten diselenggarakan setahun sekali, kini menginjak tahun ke-enam.

Hampir 100 orang lebih, memadati ruang tengah wedding house ini. Tampak para partisipan tidak saja berasal dari dalam kota Bandung, tetapi ada juga dari luar kota, tersebutlah Jefrey, yang memang sengaja datang dari Merak-Serang, khusus untuk acara ini. Begitu juga dengan beberapa komunitas luar kota lainya; Tasikmalaya, Bogor juga dari komunitas fotografi Sukabumi yang baru tahun ini menggeliat. Bisa dikatakan, memang mereka hendak melihat gerakan fotografi apa yang kini terjadi di kota Bandung.

Tepat pukul 15.00 wib, satu jam mundur dari perkiraan. Memang selain jarak tempuh lokasi penyeleggaraan acara ini cukup menantang, juga karena musim yang kini tidak menentu; musim kemarau basah! Tentu saja, hujan akhirnya menjadi aksesoris acara ini, mau tidak mau pertemuan sharing komunitas ini dilaksanakan di dalam ruang. Setelah pemaparan dari penggemar lensa manual, melalui presentasi komunitas yang diwakili oleh Ujang Ubed, selaku sespuh kelompok ini, kemudian kesempatan berikutnya diberikan kepada koumitas lubang jarum Bandung. Pada kesempatan ini, paparan dipercayakan kepada Julius Tomasowa, yang biasa dipanggil Ulis.

Boleh dikatakan, bagi sebagian partisipan yang hadir mungkin sudah mengetahui, apa itu pinhole. Jadi Ulis terlihat tidak terlalu sulit menjelaskan perkara teknis dalam perakitan kamera lubang jarum. Ia memaparkan bahwa, kamera yang paling hebat didunia adalah kamera buatan sendiri. Sejatinya, memang itulah semangat dari kekuatan lubang jarum; dibuat bukan dibeli. Selanjutnya, Ulis mengajak partisipan menyelami kembali bahwa proses seperti ini adalah bentuk pilihan dari semangat fotografi yang sudah ada. Sebuah proses yang sarat mengandung imajinatif, kreatif dan bentuk apresiasi kreasi dalam berkarya. Tentu saja, yang ia maksud adalah merakit kamera, sekaligus bagaimana caranya melubangi. “Pada prinsipnya, cahaya akan diloloskan melalui lubang kecil, kemudian diproyeksikan dan direkam oleh kertas foto” paparnya.

Antusias pengunjung terbukti. Dua orang teman dari komunitas fotografi Sukabumi, diataranya Bobby, langsung menyatakan keinginannya memboyong lubang jarum. Begitu banyak pertanyaan dilontarkan, terlihat haus akan informasi, bahkan ia meminta jenis kamera yang pernah dirakit teman-teman komunitas pinhole di Bandung. “Terima kasih kang, mungkin saya bisa menjelaskan lebih rinci pada teman-teman di Sukabumi” katanya, sambil memegang kamera rakitan pemberian komunitas lubang jarum Bandung. Jelas Ia bermaksud menyebarkan semangat ini pada kawan-kawannya di komunitas di kotanya, yang baru berusia beberapa bulan. Bisa jadi, ia telah menerima tawaran, bahwa lubang jarum turut menggairahkan. Ia sadar bahwa, melalui sebuah lubang kecil, ia hendak menggali potensi kreasi dan apresiasi seni fotografi. Mari kita tunggu tanggal mainya! (denisugandi@gmail.com)

Artikel Lepas Liputan Merdeka Dalam Bahaya

Dua orang berjaket kulit tampat menguntit dari kejauhan, pada akhirnya memberanikan diri bertanya pada kerumunan lintas komunitas fotografi, yang sedang silaturahmi di Braga bawah. “Apakah ini pentas teatrikal? Ada rencana bergerak kemana?” tanya seorang berwajah agak gelap. Tentu saja mudah ditebak, mereka adalah Intelkam Kepolisian Daerah Jawa Barat, yang memang tugasnya adalah mendeteksi potensi gangguan keamanan secara dini yang bersumber dari kerumunan massa. Merdeka dalam bahaya!

Pagi, pukul 08.30 WIB, Otoy sang pemilik cetak kilat, adfruk foto satu-satunya di Bandung, nampak terkaget-kaget. Bukan lantaran ketiban rejeki, melainkan kunjungan komunitas pengguna film yang tiba-tiba datang. Kios mungil cetak pas foto kilat ini (lihat artikel: http://denisugandi.blogspot.com/2010/02/lebih-cepat-dari-cahaya-jasa-cetak-pas.html) adalah artefak, tinggal satu-satunya yang masih beroperasi di depan kantor Pos Bandung. Kunjungan komunitas pengguna film, setidaknya memberikan dukungan, bahwa proses tradisional ini belum mau mati.

Pengumuman lewat jejaring sosial memang sangatlah ampuh. Terhitung lebih dari 50 orang yang hadir, siap menyikapi tujuh belasan dengan caranya sendiri. Adalah komunitas toys camera yang biasa disebut komunitas Klastic, hadir lengkap dengan seluruh anggotanya. Kemudian komunitas penggemar kamera rakitan tanpa lensa-Pinhole Bandung (KLJI Bandung & Kampi), komunitas lensa manual, Air Photography Communications, Bidik-Inova, Postography/komunitas fotografi di kalangan pegawai kantor Pos (pa Agus), Paguyuban Analog dan Kamera Kolot/Panakol dan komunitas fotografi lainya, yang turut melengkapi rombongan hunting bersama ini. Start di tempat pa Otoy, kios cetak foto yang biasa mangkal di depan kantor Pos Kosambi, kemudian mulai bergerak menyusuri pusat perbelanjaan pasar Kosambi. Beberap teman-teman begitu antusias, merekam segala peristiwa yang unik melalui lubang bidik kameranya. Begitu juga Wili, mulai sibuk membidik dengan kamera rakitannya. Berbeda dengan pa Oeke, seorang ahli Radiography-xray untuk uji perangkat pesawat terbang, yang nekat melakukan pemotretan dengan menggunakan kamera rakitan lubang jarum, ditengah-tengah jalan Kosambi yang sangat ramai. “Saya selalu penasaran” katanya enteng. Saya menduga, mungkin pa Oeke ingin menyampaikan pesan antusiasnya, bahwa Komunitas Lubang Jarum Indonesia, kini merayakan ulang tahunnya yang ke-8, bertepatan dengan lahirnya republik ini.

Teman-teman klastic pun antusias meraba setiap jengkal jajanan dan potret jasa penjual sepanjang jalan di depan gedung Rumentang siang. Tema, Dony dan lainya dari Klastic, nampak begitu “ciamik” memotret kiri-kanan, seputaran depan gedung Rumentang Siang. Meskipun kemeriahan tujuh belasan, tidak seramai bulan lalu yang jatuh bukan pada bulan puasa, namun semuanya turut menyikapinya dengan mendokumentasikan segala aktifitas yang ditemui sepanjang jalan raya Pos masa Deandels, gubernur Hindia Belanda (1807-1811) yang memerintahkan pembangunan jalan raya Pos, yang mengubungkan pula Jawa dari Barat ke Timur, sejauh kurang lebih 1000 kilometer. Melalui keinginan beliau, maka Bandung lahir di samping sungai Cikapundung.

Katapang dan simpang Lima adalah titik kumpul terakhir, yang kemudian dilanjutkan menuju jalan Asia-Afrika, dan berakhir di titik Nol. Dari sini, semua berkumpul untuk dilanjutkan menuju finish, di Braga bawah, depan Majestic. Memang, diiringi kesibukan memotret, sekaligus merekam artefak jalan raya Pos ini sungguh menyenangkan. Inilah kemampuan fotografi, mengambil kembali detail yang luput dari pengamatan mata, kemudian dimaknai kembali melalui lubang intip.

Cuaca panas itu gosip, ternyata hingga pukul satu siang pun, matahari masih bersembunyi dibalik awan. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika/BMG, bulan Agustus ini adalah musim kemarau-basah, istilah yang baru ditemukan tahun ini!, memang aneh. Bagi rombongan “kemarau-basah” menjadi keuntungan besar, tidak berpeluh, karena angin barat turut mendinginkan suasana. Ujung dari petualangan singkat ini berakhir di Braga bawah, lebih tepatnya di depan New Majestic. Di titik inilah, silaturahmi lintas komunitas terjadi. Setelah melepas lelah sejenak, acara kemudian dilanjutkan dengan pemberian workshop proses film hitam-putih oleh komunitas Pinhole Bandung, yang disampaikan oleh Deni (Pinhole Bandung) dan Tema dari Klastic. Meskipun di luar-ruang, partispan yang berjumlah lebih dari lima puluh orang turut cair, mendengarkan seksama. Info ini sangat berharga, karena proses seperti ini menjadi langka, lab foto penyedia jasa seperti ini kini memasang harga dengan tarif yang sangat tinggi. Beberapa teman-teman Pinhole Bandung, dengan sigap memajang karya hasil rekamannya, digantung menggunakan jepitan jemuran di sepanjang pagar seng Braga bawah. Ini adalah bentuk pernyataan keprihatinan kurangnya ruang apresiasi.

Setelah workshop dan demo proses, kemudian dilanjutkan perkenalan masing-masing komunitas; dimulai dari komunitas Pinhole Bandung, yang diwakili Gilang. Ia menjelaskan apa saja yang bisa dilakukan dengan menggunakan kamera rakitan, proses develop dan cara memotretnya. Dilanjutkan oleh ketua terpilih secara aklamasi, tokoh fotografi di Bandung, Krisna Satmoko, yang biasa dipanggil Ncis, memaparkan visi-misi Paguyuban Analog dan Kamera Kolot Bandung/PANAKOL, yang berencana untuk merekrut, sekaligus memberikan pilihan bahwa fotografi kini bukan melulu kamera digital. Olah rasa dan feeling itu paling cocok dengan menggunakan film, tutur Ncis.

Acara ditutup oleh teman-teman dari Klastic Bandung. Melalui Razky, informasi apa dan siapa penggemar toys camera ini dipaparkan. Boleh dikatakan, komunitas gaya anak muda Bandung ini selalu memikat, malahan tiga orang siswi cantik pelajar SMU malahan tertarik ingin segera bergabung di komunitas ini. Acara berakhir tepat pukul 13.00 WIB, ditutup foto bersama.

Kebersamaan dan berbagi sangat kental terasa pada kegiatan kali ini. Sejatinya fotografi lahir, memang untuk berkeinginan sebagai bahasa universal, bahasa visual yang mudah dimengerti oleh siapa saja. Dengan demikian, tidak sepantasnya fotografi diklaim menjadi milik golongan tertentu, karena itu tidak memberikan manfaat. Dirgahayu KLJI ke-8 dan dirgahayu RI! (denisugandi@gmail.com)

Artikel Lepas: KAMERA LUBANG TUSUK SATE! Gelar Kriya Kulit Jawa Barat 2010

Penjelejahan komunitas ini, akhirnya terdampar pula persis di ruang halaman depan gedung pemerintahan propinsi, apalagi kalau bukan bangunan yang dikenal masyarakat awam Hebe, terkenal dengan tusuk sate (konon berjumlah 6 tusuk sate, sesuai dengan nilai mata uang kolonial saat pembangunan) atau Gedung Pemerintahan Propinsi Jawa Barat alias Gedung Sate. Dalam satu rangkaian event yang digelar oleh Arena Kultural Universal/AKU bersama Dinas Koperasi Mikro Kecil Menengah (KUMKM) Jabar, tanggal 7-8 Agustus 2010.

Penyelenggara event oleh AKU ini tidak seperti organiser lainya, nilai keunikannya adalah selalu menyertakan beberapa komunitas didalamnya. Adalaha warisan almarhum Wawan Juanda, penggagas kerukunan antar komunitas kreatif di Bandung. Kreatifitas komunitas di Bandung, sering kali mendapatkan ruang apresiasi disegala event yang diselenggarannya. Termasuk komunitas lubang jarum Bandung. Tergabung dalam Pinhole Bandung, yang didalamnya adalah kamerapinjaman.com/Kampi dan Komunitas lubang jarum indonesia-Bandung. Ruang apresiasi ini, tentu saja disambut baik oleh komunitas ini. Entah kenapa, tawaran yang “biasa-biasa” saja, modal kertas/karton duplek, plakban hitam, lempengan almunium dan ketas foto ini selalu memikat pengunjung.

Seorang bapak tua, membawa anaknya, turut pula larut. Anehnya, tanpa mendapatkan penjelasan, ternyata si bapak itu sendiri bisa menyimpulkan bahwa kegiatan lubang jarum adalah kegiatan kreatifitas. Dengan antusias ia mengikuti kegiatan ini; merakit, memotret dan memroses di kamar gelap yang telah disediakan oleh komunitas, kamar gelap portable. Memang lucu, melihat semangat si bapa ini, tadinya ia mendaftarkan anaknya untuk belajar lubang jarum, ternyata ia sendirilah yang antusias. Berbeda dengan partisipan yang berlatar dari komunitas Bikers Brotherhood, penyuka motor tua, yang begitu antusias, hingga melemparkan ribuan pertanyaan, sebelum sempat dijawab oleh relawan komunitas. Begitu antusias, hingga mengikuti workshop sampai tuntas. Begitupula teman-teman yang tergabung dalam komunitas memotret model, yang lambat laut “dijerumuskan” masuk dalam perangkat pikat lubang jarum. Pada kesempatan kali ini, partisipan mempunyai kesempatan seluas-luasnya memoret eksterior gedung Sate bagian depan sepuasnya. Tentu saja, peristiwa langka ini hanya terjadi pada workshop kali ini saja, karena venue kegiatan, tepat di halaman utama depan gedung.

Suguhan bentuk kamera rakitan seperti ini, tentu saja menjadi kebagaan partisipan. Malahan ada beberapa partisipan yang begitu terkesima, bisa merakit kamera sendiri. Pasti mereka mempunyai alasan, bahwa fotografi itu sangat murah (seharusnya). Partisipan datang mendaftarkan diri datang bergelombang, sepanjang waktu dari pukul 09.00 wib. Hingga 17.00wib. mereka bisa datang kapan saja, sesuai dengan waktu dan kesempatan mereka Infak sebagai ganti kertas dan larutan kimia adalah sepuluh ribu rupiah, kameran buatan sendiri boleh dibawa pulang, beserta karyanya. Tugas pertama adalah merakit kamera disain Rofii. Ramdan, Dede, Deni, Willi dan Gungun, bertugas menggiring partisipan untuk bisa mengerti prinsip dasar kamera lubang jarum. Tentu saja mereka harus merakit kamera sendiri, yang terbuat dari material karton duplek dengan ketebalan 3mili. Berikutnya adalah loading film, dengan menggunakna changing bag dan dilajutkan dengan memotret dan proses di kamar gelap.

Kegiatan workshop dasar ini, seperti biasa, selalu digawangi teman-teman yang tergabung dalam Pinhole Bandung; KLJI Bandung dan Kampi. Instruktur yang tiada lelah yang selalu hadir diantaranya Willi, Ramdan, Gungun, Dedegondring, Rofii, Lala, Ario, Deni, Ami (itunya Willi) dan Aganjoker (Unla). Hadir pula Vivi dan Egi, yang turut menyemangati acara workshop kali ini. Mereka berdua turut bergabung sebagai relawan dikomunitas ini. Seperti janji yang tidak tertulis, bahwa dalam setiap penyelenggaraan workshop, selalu ingin ada yang berbeda, yaitu bentuk disain kamera yang lain pada setiap pelaksanaan workshop. Pada kesempatan kali ini, Rofii menyumbangkan ide, bentuk kamera model vertikal. Posisi kertas yang melengkung, persis seperti pada bentuk silinder. Efek yang ditampilkan pasti berbeda dengan bentuk yang pernah digarap pada workshop sebelumnya, layaknya lensa super wide. Ini adalah bagian dari komitmen bersama, mengagas sesuatu yang baru. Semacam bentuk “memacu” kreatifitas didalam komunitas itu sendiri. Selain itu, agar tidak bosan, seperti yang selalu dilakukan pada tahun-tahun lalu; kaleng lagi, kaleng lagi.

Nilai apresiasi yang menggairahkan adalah terletak pada imajinatif, kreatif dan pengetahuan teknis prinsip dasar perekaman gambar. Fakta menyatakan bahwa lubang jarum ini telah ada jauh sebelum fotografi itu lahir. Bukan berarti benda ini benda tua, tetapi komunitas ini menawarkan keragaman alternatif, merangkai olah rasa imajinatif dan mementingkan proses dibandingkan hasil. Bagi kamera lubang jarum, hasil akhir tidak penting lagi. Begitulah, tawaran yang diberikan pada partisipan, yang berjumlah 36 orang, yang datang pada waktu yang berbeda, selama dua hari, terhitung dari tanggal 7 dan 8 Agustus 2010. Rata-rata latar partisipan yang hadir adalah dari kampus dan pelajar. Hampir semua adalah pemotret aktif, yang memiliki kamera jenis digital. Bagi saya, ini adalah tanda-tanda fotografi digital telah kehilangan gairahnya, bahasa teknis kamera sudah bisa diduga dibandingkan lubang jarum. Lubang jarum tidak menyediakan viewfinder, jadi segala sesuatunya kembali pada “kira-kira” itulah olah rasa sebenarnya. Kalau boleh saya simpulkan bahwa fotografi digital kini telah kehilangan tantangannya. (denisugandi@gmail.com)

Artikel Lepas tentang Pinhole Bandung @ WALHI

Entah kenapa, pesona lubang jarum itu selalu menarik. Itulah awal perjumpaan teman-teman di WALHI, Lucee volunter dari Amerika, melihat komunitas yang pernah dijumpai pada event Gelar Batik Jawa Barat 2010 ini sangat menarik untuk memeriahkan acara mereka. Kemasannya memang tidak terlalu repot, dari pihak Pinhole Bandung cukup ruang luar, meja dan kursi. Jadilah demo cara perakitan, merekam gambar dan proses di kamar gelap ringkas (baca: personal portable darkroom) hanya hujan lebat yang bisa menghentikan sementara kegiatan komunitas ini.

Waktu memang sangat singkat sekali, yang tersedia dalam rangkaian acara Saung Van Java, yang diselenggarakan oleh WALHI di Pusat Kegiatan Mahasiswa/PKM kampus Universitas Pendidikan Indonesia, jalan Setiabudhi Bandung. Kenapa singkat? Memang tidak sepeti pelaksanaan event sebelumnya, waktu yang tersedia hanya empat jam, terhitung dari pukul 10.00 wib, hingga berakhir pada pukul 14.00 wib. Waktu pendek tersebut memang tidaklah pas untuk menggelar workshop yang lengkap, adalah demo dan pengenalan sajalah yang bisa dilakukan oleh teman-teman di komunitas Pinhole Bandung, yang tergabung dari Komunitas Kamera Lubang Jarum Indonesia-Bandung/KLJI Bandung dan kamerapinjaman.com/KAMPI. Seperti biasa, jajaran “karyawan tetap” Pinhole Bandung selalu digawangi Ramdan, Amy, Gilang, Willi, Dede Gondrong, Lala, Rofii, Ugun dan Deni. Mereka dengan senang hati menjelaskan proses perekaman menggunakan metode ini.

WALHI pastilah berhubungan dengan peduli lingkungan. Dalam event kecil ini tentu saja ingin mengingatkan kembali betapa pentinggnya arti konservasi kepada generasi muda. Menyikapi semangat tersebut, lubang jarum sangat pas untuk disandingkan dengan kata-kata pelestarian alam. Ideologi yang dipegang teman-teman lubang jarum adalah membuat (baca: merakit kamera) bukan membeli. Semangat “merakit” ini berarti menggunakan benda atau material yang sudah ada, kemudian tidak digunakan kembali, disebut limbah. Katakanlah kaleng bekas, dus bekas dan sebagainya. Semunya adalah suku cadang material untuk merakit kamera. Jadi pas lah sudah bahwa semangat lubang jarum turut pula mendukung pelestarian lingkungan, dengan cara mendaur ulang limbah.

Melebar sedikit, lubang jarum adalah aktivitas merekam kenyataan, yang kemudian dihadirkan kembali. Itulah bahasa komunikasi visual fotografi. Ada pesan “gambar” yang ditangkap, melalui proyeksi pantulan cahaya pada benda, kemudian direkam pada kertas film. Pesan visual ini, bisa berbicara banyak hal. Bagi lubang jarum, pesan yang disampaikannya bisa juga berupa kampanye pelestarian. Inilah paradoks yang dimaksud, disatu sisi rakitan kamera menggunakan limbah dari hasil produksi kemasan masal (tetrapak membutuhkan 400 tahun untuk bisa didaur ulang dengan sempurna) kemudian dikembalikan kepada mereka (produsen) dalam bentuk pesan pelestarian alam. Tanggung jawab moral inilah yang kiranya turut menjadi agenda penting komunitas lubang jarum, yang telah hadir di Indonesia delapan tahun yang lalu. Lubang jarum sama-sama peduli kelestarian lingkungan. (denisugandi@gmail.com)

JAZZ & PENCITRAAN

Chet Baker (c) william claxton

JAZZ & PENCITRAAN

Oleh Galih Sedayu (http://fotografius.wordpress.com/)

Membaca sejarah kehadiran musik jazz di dunia, tentunya seperti mendengar berbagai penggal cerita yang agak sulit bagi kita untuk mengetahui mana cerita yang sebenarnya. Karena banyak sekali sekelumit kisah tentang awal musik jazz. Salah satunya adalah Buddy Bolden. Seorang pemilik kedai cukur rambut di New Orleans, dapat dikaitkan dengan sejarah keberadaan musik jazz di dunia. Dimana sekitar tahun 1891, salah satu orang yang dipercaya sebagai legenda jazz ini meniupkan cornet-nya (sejenis alat musik tiup mirip terompet) sebagai pertanda dikumandangkannya musik jazz ke seluruh antero jagat. Meskipun sejarah mengatakan bahwa latar belakang kehadiran musik jazz sedikit banyak dipengaruhi berbagai musik seperti musik spiritual, cakewalks, ragtime dan blues. Musik jazz pun menjadi semakin menarik karena beberapa sejarah mengatakan bahwa asal kata “jazz” berawal dari sebuah istilah vulgar yang berkaitan dengan aksi seksual. Sebagian irama musik jazz pun identik dengan rumah-rumah bordil dengan para wanita penghuninya.

Fotografi yang dilahirkan ke jagat raya sejak tahun 1839 oleh Louis Jacques Mande Daguerre, setidaknya dapat menaruh harapan khususnya pada catatan perkembangan sejarah musik jazz itu sendiri. Setidaknya sebagai catatan visual dan media informasi yang gampang dicerna bagi komunitas jazz. Misalnya saja sebagai bahan untuk melacak citra foto pertama tentang jazz di dunia. Memang sulit untuk mengatakan karya foto mana yang menjadi citra pertama di dalam dunia musik jazz. Tetapi bukan tidak mungkin bahwa kita dapat melacaknya dari karya-karya foto para fotografer jazz dunia semisal William Gottlieb yang mulai memotret musisi jazz ternama seperti Duke Ellington, Louis Armstrong, Frank Sinatra, Dizzy Gillespie dan Billie Holiday sejak tahun 1938. Lalu ada nama Herman Leonard yang banyak memotret tokoh-tokoh jazz seperti Charlie Parker, Sarah Vaughan, Lena Horne, Thelonius dari tahun 1940. Atau William Claxton yang mulai berkarya merekam aksi para musisi jazz legendaris seperti Chet Baker, Miles Davis, Nat King Cole, Joe Williams, Dinah Washington sejak tahun 1950. Tentunya dibutuhkan penelitian yang serius untuk melacak sejarah tersebut.

Barangkali dengan paparan itu pula ada sebuah gagasan untuk mencatat perkembangan sejarah musik jazz di indonesia. Dimana fotografi dapat menjadi sebuah medium untuk menghadirkan kembali citra tentang romantika dan perjalanan musik jazz. Seperti yang disuguhkan oleh Mia Damayanti Sjahir dalam Pameran Fotonya yang bertajuk Jazz – Poster & Post It di Potluck Coffee Bar & Library dari tanggal 11 Juli 2010 s/d 7 Agustus 2010. Pameran foto ini dikuratori oleh Dwi Cahya Yuniman, seorang pendiri klab jazz plus aktivitis jazz asal Kota Bandung. Uniknya, foto-foto yang dipamerkan tersebut tidak hanya mengisi tembok-tembok kosong yang disoroti lampu belaka. Melainkan ada beberapa foto yang sengaja ditampilkan untuk mengisi dan menjadi bagian estetika perabotan di tempat pameran itu digelar. Toples, bingkai kecil di rak buku, tempat cashier, dan sebagainya menjadi aksen bagi keutuhan pameran tersebut. Tentunya kita semua berharap bahwa pada suatu saat nanti, karya-karya foto tentang jazz ini dapat menjadi sebuah buku yang dapat meninggalkan jejak karya dan dapat dibagikan bagi masyarakat agar peradaban musik jazz terus mengalir seiring dengan dunia yang terus berputar tanpa henti.

Fotografi bergerak!!

http://www.galihsedayu.com

Tulisan ini diberikan pada acara diskusi kecil bersama Syaharani (Musisi Jazz), Dwi Cahya Yuniman (Klab Jazz) dan Mia Damayanti Sjahir pada tanggal 12 Juli 2010 yang merupakan rangkaian Pameran Foto “Jazz-Poster and Post It” karya Mia Damayanti Sjahir yang diadakan oleh Klab Jazz pada tanggal 11 Juli 2010 s/d 7 Agustus 2010 di Potluck Coffee Bar & Library.